Bencana Alam Antara Azab dan Rahmat

Petuah, Pandangan dan Pemikiran KH. Maimoen Zubair

Di penghujung 2004 sebuah gempa yang disusul dengan tsunami menghantam salah satu wilayah Indonesia, Aceh. Tsunami Aceh yang disebut-sebut sebagai salah satu bencana terbesar di dunia telah meluluh-lantakkan sebagian besar wilayah yang dijuluki “serambi Makkah”. Apa yang sebenarnya sedang menimpa 4 juta muslim di bumi serambi Makkah? Azabkah atau cobaan dari Allah?
Bertolak dari sebuah peristiwa aktual di atas, Syaikhuna KH. Maimoen Zubair mencoba menjelaskan pandangannya tentang bencana alam dari sudut pandang Al-Quran dan Hadis. Ada dua hal pokok yang disampaikan Syaikhuna berkaitan dengan bencana Alam. Pertama, tentang hakikat bencana. Kedua, bahwa peristiwa bencana alam adalah salah satu bukti atas kerasulan Nabi Muhammad.


Sebagai salah seorang ulama yang mutabahhir fi ulumiddin dan kenyang dengan pengalaman sosial, pandangan dan analisa Syaikhuna sangat tajam dan jeli, didukung dengan pemahaman terhadap teks Quran dan Hadis yang akurat dan sangat mendalam, dan dipadu dengan pengamatan sosial yang empiris. Dan sebagai seorang kyai, beliau tidak hanya menganalisa dan mengamati suatu peristiwa, tetapi juga memberikan nasihat dan solusi untuk kebaikan umat Islam.

Bencana Alam Dari Sudut Pandang Agama

Syaikhuna KH. Maimoen Zubair melihat tsunami Aceh sebagai bencana yang sama bahkan lebih dahsyat dibanding bencana yang menimpa kaum nabi Hud. Bencana semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga pernah dialami negara negara Islam lain. Menurut beliau apa yang terjadi di Aceh adalah Ayat Kauniyah yang kasat mata sebagai tanda atas kekuasaan Allah sekaligus sebagai peringatan (takhwif) kepada hambaNya. Allah berfirman:
“Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (QS. 17;59).
Selanjutnya Syaikhuna KH. Maimoen Zubair menjelaskan bahwa tanda-tanda Allah bisa berupa tanda yang didengar (ayat sam’iyah), yaitu ayat Al-Quran, atau tanda alam yang kasat mata (ayat kauniyah), yaitu fenomena alam. Bagi orang orang berakal (ulul albab) ayat sam’iyah bisa menjadi petunjuk ke jalan yang benar. Allah berfirman:
“Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hambaNya dengan adzab itu. Maka bertaqwalah kepada-Ku hai hamba-hambaKu.” (QS. 39:16).
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS.3:7).
Tetapi bagi mereka yang bebal rasa dan pikiran, ayat sam’iyah tidak akan dapat menyentuh kesadaran religius mereka. Justru sebaliknya, ayat sam’iyah akan semakin menyuburkan kedurhakaan dan menjauhkan mereka dari kebenaran.
“Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam al-Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (QS.17:60).
Di sinilah urgensi ayat kauniyah. Allah menurunkan ayat kauniyah sebagai bentuk belas kasih kepada mereka yang bebal rasa dan pikiran, agar mereka sadar. Sebab, mereka adalah orang-orang yang tidak dapat disentuh kesadarannya dengan kata kata, dan karenanya sebuah kenyataan pahit bisa jadi menyadarkan mereka. Jika mereka mau merenunginya lalu insyaf dan sadar, maka Allah akan mengampuni segala kedurhakaan di masa lalu. Tetapi jika mereka bergeming dengan kedurhakaan dan kecongkakannya, maka sesungguhnya Allah maha kuasa untuk melakukan apapun yang dikehendakiNya.
“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS.6:43).
“Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan adzab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepadaNya) dengan merendahkan hati.” (QS. Al-Mu’minun: 76).
Jika ditelusuri lebih dalam, maka setiap bencana yang menimpa sejatinya adalah ayat kauniyah yang diperdengarkan. Bagi yang beriman setiap ayat yang diperdengarkan, baik sam’iyah maupun kauniyah, akan semakin mempertebal keimanannya.
“…dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 02).

Tetapi bagi orang orang yang tidak mau merenung, ayat apapun yang diperdengarkan tidak akan pernah menggoyahkan keangkuhan dan kedurhakaan mereka. Sedangkan bagi orang orang yang mau insyaf, ayat yang diperdengarkan akan menjadikan mereka tunduk kepada Allah dan bersedia mengikuti jalan orang orang yang beriman.

Dengan demikian jelaslah bahwa bencana sebagai personifikasi ayat kauniyah adalah azab dan pada saat yang sama juga rahmat. Ia adalah azab hanya bagi orang orang yang berbuat dosa, bukan bagi seluruh umat manusia.
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. As-Syuro: 30).
“Apa saja ni’mat yang pernah kamu peroleh adalah dari Allah dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS. An-Nisa’: 79).

Dan bagi orang orang saleh ia adalah rahmat, ujian bahkan juga seleksi. Bencana adalah ayat kauniyah Allah yang akan semakin mempertebal keimanan mereka, sama dengan ayat ayat al-Quran. Ummu Salamah mengkisahkan bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda, “jika kemaksiatan telah melanda umatku, maka Allah akan menimpakan azab kepada mereka.” Ummu Salamah bertanya, “Bukankah didalamnya terdapat orang orang saleh?” Rasulullah menjawab, “Benar,” Ummu Salamah bertanya lagi, “lalu apa yang terjadi pada mereka?” Rasulullah menjawab, “mereka mengalami apa yang dialami orang lain, lalu mereka mendapatkan pengampunan dan ridlo dari Allah.” (Ahmad:25382).

Seorang penyair berkata:
BagiMu segala puji, sesungguhnya bencana adalah pemberian
Dan musibah adalah sebagian derma
Jadi, sejatinya azab hanya ditimpakan kepada mereka yang berbuat dosa, tetapi orang yang saleh juga merasakan getahnya. Sebab, setiap kali azab ditimpakan kepada suatu umat, maka azab itu akan dirasakan seluruh orang yang ada di dalamnya.

Dalam Bab Idza Anzala Allahu bi-Qoumin ‘adzaban, Bukhori menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Jika Allah menurunkan adzab kepada suatu kaum, maka adzab itu akan menimpa siapapun yang termasuk di dalam kaum tersebut. Kemudian mereka dibangkitkan berdasarkan amal perbuatan masing masing.” (Buckhori:6575)
Dalam Syarahnya, Ibnu Hajar mengutip riwayat Shohih Ibnu Hibban dari Aisyah: “Ketika Allah menurunkan tamparanNya kepada ahli siksa, sementara di dalamnya ada orang orang saleh, maka orang orang saleh itu akan turut dibinasakan bersama ahli siksa. Kemudian mereka akan dibangkitkan berdasarkan niat dan amal masing masing.” Ibnu Hajar juga mengutip riwayat Baihaqi dalam asy-Syu’ab: “Ketika keburukan melanda di muka bumi, maka Allah menurunkan bencanaNya kepada mereka.” Ditanyakan, “(meskipun) di dalamnya ada orang orang taat?” Rasulullah menjawab, “ya, kemudian mereka dibangkitkan menuju rahmat Allah.”

Tentang hal ini Ibnu al-Qoyyim, seperti para ulama salaf, mengatakan bahwa adakalanya Allah mengijinkan bumi mengalami gempa, dan terjadilah gempa dahsyat. Lalu gempa itu menumbuhkan rasa takut, khawatir, keinginan bertaubat dari maksiat, tunduk kepada Allah dan penyesalan.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah Madinah pernah diguncang gempa. Lalu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Tuhanmu memerintahkanmu untuk mendapatkan ridloNya. Karena itu ridlokanlah Tuhanmu.” (Mushannafu Ibnu Abi Syaibah: 302,2)

Dikisahkan dari Shofiyyah bahwa pada masa Umar Madinah pernah diguncang gempa. Lalu Umar berkata, “Betapa cepat apa yang kalian timbulkan (bencana). Seandainya gempa itu kembali mengguncang maka pasti aku termasuk di dalamnya (ikut kena getahnya).” (Ibnu Abi ad-Dunya :17)
Ibnu Abi ad-Dunya mengisahkan bahwa Anas bin Malik dan seorang laki-laki menemui Aisyah. Laki-laki itu berkata, “Wahai Ummil Mu’minin, ceritakan kepadaku tentang gempa,” Aisyah menjawab, “Ketika orang-orang telah menghalalkan perzinaan, minuman keras dan alat musik, maka Allah murka dan memerintahkan kepada bumi, gempalah kepada mereka. Jika mereka bertaubat dan insyaf (berhentilah). Dan jika tidak, hancurkanlah mereka.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Wahai Ummil Mu’minin, apakah sebagai sanksi kepada mereka?” Aisyah menjawab, “sebaliknya, (hal itu) merupakan nasihat dan rahmat bagi orang beriman dan pembalasan, siksa serta murka bagi orang orang kafir.” (Ibnu Abi ad-Dunya :20).

Selanjutnya Syaikhuna KH. Maimoen Zubair mengingatkan bahwa di dalam syariat Islam hukum ditetapkan berdasarkan apa yang tampak di permukaan. Sedangkan apa yang tidak tampak diserahkan ketetapan hukumnya kepada Allah. Manusia tidak berhak, bahkan juga tidak mampu, mengintervensi apa yang menjadi hak prerogatif Allah. Kita menghukumi ahlul qiblah dan orang yang mengucap kalimat tauhid sebagai mu’min. Kita tidak perlu menelisik hakikat keimanan dan keikhlasan tauhid mereka. Sebab, hal itu merupakan wilayah kewenangan Allah dan bukan urusan manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, bencana yang mayoritas korbannya adalah umat Islam, patut direnungkan. Jika kita menilai secara lahiriyah bahwa mereka mu’min, maka tidak dengan serta merta mereka mu’min sejati di hadapan Allah. Sebab, penilaian Allah didasarkan pada apa yang sesungguhnya terjadi. Rasulullah telah mengisyaratkan hal ini ketika bersabda, “Segeralah beramal sebelum terjadi fitnah yang bagaikan tumpukan malam gulita dimana terjadi: di pagi hari seseorang beriman dan petang harinya sudah menjadi kafir; atau di petang hari beriman dan pagi harinya berubah menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan harta yang tak seberapa”. (Muslim:169)
Dalam riwayat Anas bin Malik pun disebutkan bahwa Raulullah pernah bersabda, “Sebelum hari kiamat akan ada fitnah yang bagaikan tumpukan malam gulita dimana terjadi seseorang beriman di pagi hari dan sorenya berubah menjadi kafir; dan seseorang beriman di seore hari lalu manjadi kafir keesokan harinya. Banyak orang menukar agamanya dengan harta dunia.”(Ibnu Abi Syaibah:108)
Nabi juga bersabda, “Tak ada seorang Nabipun selain ia memiliki pendukung yang mau mengikuti petunjuknya dan berjalan di atas tradisinya (sunnah). Lalu lahir generasi berikutnya yang mengatakan apa yang tidak dilakukan dan melakukan apa yang diinkarinya. Barang siapa berjuang dengan tangannya maka ia adalah seorang mu’min; barang siapa berjuang dengan kata-kata, maka ia adalah seorang mu’min; dan barang siapa berjuang dengan hatinya, maka juga seorang mu’min. Di luar itu, tak ada lagi keimanan meskipun hanya seberat biji selada.” (Muslim:71)

Jika demikian, lalu sebenarnya apa yang telah diperbuat umat Islam hingga Allah mengirimkan ayat kauniyahNya? Pertanyaan ini yang didasari niat tulus untuk melakukan instropeksi dan menyadari kekurangan diri, tentu sangat penting demi menentukan perilaku yang tepat pasca bencana. Dan perilaku inilah yang akan menentukan: apakah bencana yang menimpa merupakan siksa yang berujung keburukan dan kehancuran umat, atau cobaan dan rahmat yang mewariskan kebaikan serta kesejahteraan umat. Sebab, seperti disampaikan sebagian ulama, manusia itu mutabayyin (menjadi tahu setelah tidak tahu).
Di akhir bagian ini Syaikhuna KH. Maimoen Zubair berdoa, “Semoga Allah tidak menjadikan umat kita termasuk dua golongan yang akan saya jelaskan nanti.”
Di antara macam manusia ada orang orang yang bisa sadar cukup hanya dengan isyarat; orang orang yang bisa sadar setelah mendapatkan penjelasan panjang lebar; orang-orang yang hanya patuh dengan aturan; dan orang-orang yang baru sadar setelah bencana menimpa dirinya atau tetangganya.
Ada dua golongan lagi yang paling buruk, seperti doa yang dipanjatkan Syaikhuna di atas. Golongan pertama adalah orang-orang yang baru insyaf di saat ia dalam keadaan sekarat. Allah berfirman:
أو يأتي ربك أو يأتي بعض آيات ربك يوم يأتي بعض آيات ربك لا ينفع نفسا إيمانها لم تكن آمنت من قبلُ أو كسبت في إيمانها خيرا قل انتظرورا إنا منتظرون
“…atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhamnu tidaklah bermanfaat bagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Kakatanlah; “Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula).” (QS. 6;158).
Termasuk dalam golongan ini adalah Fir’aun yang durhaka, seperti diceritakan Allah dalam al-Quran.
حتى إذا أدركه الغرق قال آمنت أنه لا إله إلا الذي آمنت به بنو إسرائيل وأنا من المسلمين
“…hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidaklah ada Ilah melainkan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” ( QS. 10;90).
Tetapi di saat ajal di depan mata, pintu iman dan taubat telah tertutup dan penyesalanpun tiada guna.
الآن وقد عصيت قبل وكنت من المفسدين فاليوم ننجيك ببدنك لتكون لمن خلفك آية وإن كثيرا من الناس عن آياتنا لغافلون
“Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. 10;91).
Golongan kedua adalah orang orang berhati batu yang selalu berbuat maksiat. Dan karenanya Allah menyesatkan jalannya, mengunci hati dan pendengarannya serta menjadikan penutup di matanya. Bagi mereka ada peringatan atau tidak, sama saja: mereka tidak akan beriman. Allah telah menguji mereka dengan diberi kabaikan dan keburukan, tetapi mereka tidak insyaf. Allah menghendakkan ayat sam’iyahNya dan memberlakukan ayat kauniyahNya kepada mereka, tetapi tidak pula mereka insyaf. Lalu Allah menangguhkan azabnya agar mereka semakin durhaka. Dan jika saatnya tiba Allah akan mengazabnya
ولقد أرسلنا إلى أمم من قبلك فأخذناهم بالبأساء والضرّاء لعلهم يتضرعون. فلولا إذ جاءهم بأسنا تضرعوا ولكن قست قلوبهم وزيّن لهم الشيطان ما كانوا يعملون. فلما نسوا ما ذكروا به فتحنا عليهم أبواب كل شيء حتى إذا فرحوا بما أوتوا أخذناهم بغتة فإذا هم مبلسون. فقطع دابر القوم الذين ظلموا والحمد لله رب العالمين
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk, merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang dzalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. (QS. 6;42-45).
Agar umat kita tidak termasuk dua golongan terburuk ini, maka mereka harus jujur terhadap diri sendiri dan menyadari bahwa bencana yang diturunkan Allah merupakan akibat dari keburukan-keburukan yang telah mereka perbuat. Bencana itu juga diakibatkan oleh ketidak-patuhan mereka terhadap perintah-perintah Allah, kedurhakaan mereka terhadap Rasul dan keberpalingan mereka dari jalan benar para ulama yang merupakan pewaris para nabi. Dengan demikian murka Allah bisa menjadi rahmat bagi mereka.
وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم ويعفوا عن كثير
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. As-Syuro: 30).
ذلك بأن الله لم يك مغيّرا نعمة أنعمها على قوم حتى يغيّروا ما بأنفسهم وأن الله سميع عليم
“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah suatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal; 53).
Kemudian mereka harus bertaubat dan beristighfar dengan cara: menyesali, meninggalkan, serta berjanji tidak akan mengulang dosa dosa yang diperbuat; mengembalikan harta yang diambil dengan jalan aniaya; lalu memohon ampun kepada Allah.
وما كان الله ليعذّبهم وأنت فيهم وما كان الله معذّبهم وهم يستغفرون
“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengajak mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengajak mereka, sedang mereka meminta ampun.” (QS. 8:33).
Sebab taubat dan istighfar adalah dua tiket untuk mendapatkan rahmat, kebaikan dan berkah. Nabi Nuh, sebagaimana diceritakan al-Quran, berkata kepada kaumnya:
فقلت استغفروا ربكم إنه كان غفّارا. يرسل السماء عليكم مدرارا. ويمددكم بأموال وبنين ويجعل كلم جنّات ويجعل لكم أنهارا. ما لكم لا ترجون لله وقارا
“…maka aku katakana kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun,” niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (QS. Nuh; 10-13).
Selain itu mereka juga harus berendah diri dan kembali kepada Allah seperti yang dilakukan para ulama dari berbagai strata. Seyogyanya tiap lapisan umat berendah diri sesuai dengan kedudukan masing-masing. Ulama memiliki cara yang berbeda dengan umara dan lapisan lain dalam berendah diri. Demikian pula umara dan lapisan lain. Sebab, tiap individu memiliki strata dan karakteristik yang berbeda.
Berendah diri tidak dilakukan dengan cara menggelar istighotsah kubro di lapangan, di jalan raya atau di pasar. Cara cara seperti ini tidak pernah dikenal generas-generasi terdahulu. Bahkan bisa jadi istighotsah adalah bid’ah yang dianggap sebagian kalangan sebagai kebaikan agama.
Mari kita lihat dan renungkan firman Allah dalam surat al-A’raf:
وما أرسلنا في قرية من نبيّ إلا أخذنا أهلها بالبأساء والضرّاء لعلهم يضرّعون. ثم بدّلنا مكان السيئة الحسنة حتى عفوا وقالوا قد مسّ آباءنا الضرّاء والسرّاء فأخذناهم بغتة وهم لا يشعرون. ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والأرض ولكن كذبوا فأخذناهم بما كانوا يكسبون. أفأمن أهل القرآ أن يأتيهم بأسنا بياتا وهم نائمون. أوأمن أهل القرى أن يأتيهم بأسنا ضحى وهم يلعبون. أفأمنوا مكر الله فلا يأمن مكر الله إلا القوم الخاسرون
“Tidaklah Kami mengutus seorang Nabi pun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan itu), melainkan Kami timpakan kepada mereka kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.” (94)
Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata, “sesungguhnya nenek moyang kami pun telah merasai penderitaan dan kesenangan, maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong, sedang mereka tidak menyadarinya.”(95)
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (96)
Maka, apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka dimalam hari di waktu mereka sedang tidur? (97)
Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? (98)
Maka, apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (99)
Syaikhuna KH. Maimoen Zubair optimis bahwa bencana yang menimpa negara kita akan berujung pada kebaikan umat. Sebab terjadinya bencana dibarengi dengan semakin maraknya gerakan kebangkitan Islam yang mendorong tumbuhnya syiar Agama dan penerapan ajaran Islam, baik secara individual maupun sosial. Seperti kita lihat, gerakan Islam di negara kita semakin maju dan berkembang. Banyak sekolah agama dibangun; pelajaran agama menjadi materi wajib dalam sekolah-sekolah pemerintah dan swasta; musholla-musholla dibangun di lingkungan sekolah, di pemukiman masyarakat, di kantor-kantor pemerintah dan swasta. Jadi, pembangunan agama di sini mencakup sisi fisik sekaligus sisi spiritual. Keberhasilan pembangunan agama yang holistik ini tidak terlapas dari upaya yang dilakukan kalangan ulama yang merupakan pewaris para nabi.
Jadi, bencana yang menimpa ibarat peringatan dan teguran dari Allah bahwa meskipun kemajuan gerakan Islam di sebagian wilayah telah mencapai tingkat perkembangan yang memberikan harapan besar bagi masa depan Islam yang cerah, namun di sisi lain masih ada kekurangan kekurangan yang patut diperhatikan berkaitan dengan penggunaan manhaj agama yang benar.

Bencana Sebagai Bukti Risalah

Dari sudut pandang lain Syaikhuna KH. Maimoen Zubair melihat bencana sebagai bukti atas kebenaran kerasulan Nabi Muhammad. Sejak kenabian, Rasulullah telah menyampaikan seluruh janji dan ancaman yang berkiatan dengan umatnya, baik yang terjadi pada masa hidup beliau ataupun yang akan terjadi setelah beliau wafat. Dan berita Rasulullah tentang apa yang akan terjadi setelah beliau wafat lebih banyak dibanding berita tentang sesuatu yang terjadi pada masa hidup beliau.
وإن ما نرينّك بعض الذي نعدهم أو نتوفينّك فإنما عليك البلاغ وعلينا الحساب
“Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebagian (siksa) yang Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka.” (QS. 13:40).
Di antara berita itu adalah bencana gempa yang sedang kita bicarakan. Nabi telah memprediksi kejadian ini, baik disampikan melalui wahyu al-Quran maupun hadits. Oleh karena itu, terjadinya bencana yang menimpa umat Nabi Muhammad tidak diragukan lagi adalah azab atau rahmat, atau seleksi dan ujian, dan bukan sekedar fenomena alam yang tidak berkaitan dengan murka Allah seperti penafsiran kaum materialis ekstrim. Allah berfirman:
قل هو القادر على أن يبعث عليكم عذابا من فوقكم أو من تحت أرجلكم أو يلبسكم شيعا ويذيق بعضكم بأس بعض انظر كيف نصرّف الآيات لعلهم يفقهون
“Katakanlah, Dia-lah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain, perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya).” (QS. Al-An’am:65).
Empat kalimat yang berhuruf tebal (dari atas kamu, dari bawah kakimu, mencampurkan kamu dalam golongan-golonga, merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain) masing masing dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain sebagai berikut:
  • Azab dari atas kamu maksudnya adalah hujan batu dan lengkingan memekakkan
  • Azab dari bawah kakimu artinya adalah terbelahnya bumi yang menelan seluruh apa yang ada di atasnya.
  • mencampurkan kamu dalam golongan-golongan maksudnya adalah perpecahan umat
  • merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain maksudnya adalah masing masing kelompok yang berpecah belah saling berperang.
Dan secara global ayat di atas dijelaskan al-Jalalain dengan sabda Rasulullah ketika ayat ini turun, “Ayat ini adalah peristiwa yang penjelasan implementatifnya belum terjadi.” (Tirmidzi:2992, Ahmad:1387)
Tafsir ash-Showy menjelaskan hadis ini dengan mengatakan bahwa empat macam azab di atas adalah peristiwa yang pasti akan terjadi sebelum kiamat tiba. Hanya saja dua yang terakhir telah terjadi pada masa Sahabat, sedangkan dua pertama, Allah menundanya hingga mendekati kiamat. Ash-Showy memberikan catatan bahwa menurut para ulama meskipun dua pertama akan terjadi, tetapi tidak menimpa umat secara menyeluruh seperti yang terjadi pada umat terdahulu.

Syaikhuna KH. Maimoen Zubair menggaris bawahi dua hal. Pertama, mengutip Ubay bin Ka’b dua azab terakhir terjadi setelah 25 tahun meninggalnya Rasulullah. (Ibnu Abi Hatim:7431, Ahmad:20279, Thabari:13380)
Kedua , catatan ash-Showy bahwa dua azab pertama tidak akan menimpa umat Rasulullah secara menyeluruh didasarkan pada hadits yang mengisyaratkan bahwa dua azab pertama memang tidak akan pernah terjadi pada umat Rasulullah. Rasululllah bersabda, “Aku memohon kepada Tuhanku empat hal: aku memohon kepada Allah agar umatku tidak bersepakat atas kesesatan, lalu Dia mengabulkannya; aku memohon kepada Allah agar umatku tidak dikuasai musuh dari luar, lalu Dia mengabulkannya; aku memohon kepada Allah agar umatku tidak dihancurkan dengan bencana seperti umat umat terdahulu, lalu Dia mengabulkannya; dan aku memohon kepada Allah agar umatku tidak berpecah belah dan saling berperang, lalu Dia menolaknya.”(mu’jam kabir Thabrani:2129)

Tetapi di sisi lain ada pula hadits yang mengisyaratkan bakal terjadinya dua azab pertama pada umat Nabi Muhammad, seperti hadits tersebut di atas: “Ayat ini adalah peristiwa yang penjelasan implementatifnya belum terjadi.” (Tirmidzi:2992, Ahmad:1387); dan penafsiran Ubay bin Ka’b terhadap ayat ini, “(jenis azab) semuanya ada empat dan semuanya pasti terjadi.” (Ibnu Abi Hatim:7431, Ahmad:20279, Thabari:13380)
Untuk menselaraskan dua kelompok hadits di atas, Syaikhuna KH. Maimoen Zubair menjelaskan bahwa pengertian “terjadi” di dalam hadits tersebut adalah, dua azab pertama bisa terjadi pada umat Nabi Muhammad, tetapi tidak sampai memusnahkan seluruh umat Islam. Sedangkan pengertian “tidak terjadi” adalah, dua azab pertama tidak akan menimpa umat Nabi Muhammad dalam bentuk yang bisa memusnahkan seluruh umat Islam.
“Tafsir penselarasan” ini tepat seperti apa yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari Hasan al-Bashory bahwa ketika turun ayat ini Rasulullah berdiri dan berwudlu. Kemudian Rasulullah memohon kepada Allah: agar tidak dikirimkan kepada umatnya azab dari atas ataupun dari bawah; agar tidak terjadi perpecahan pada umatnya; dan agar umatnya tidak saling berperang seperti terjadi pada Bani Israil. Kemudian Jibril turun kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Muhammad, engkau telah meminta kepada Tuhanmu empat hal. Dia mengabulkanmu dalam dua hal dan menolakmu dalam dua hal. Tidak akan datang kepada umatmu azab dari atas ataupun dari bawah yang dapat memusnahkan mereka. Sesungguhnya keduanya adalah azab bagi setiap umat yang mendustakan nabinya dan menolak kitab Tuhannya. Tetapi umatmu akan berpecah belah dan saling berperang…” (Thabari:13375)

Banyak hadits yang menunjukkan akan terjadinya kedua azab itu saat mendekati hari kiamat, hal mana tidak menimbulkan keraguan bahwa azab itu memang pasti terjadi. Bahkan diantara hadits itu ada yang menjelaskan kemungkinan terjadinya azab yang lebih dahsyat . Hadits hadits tersebut adalah:
  1. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di dalam umatku ada khosfu (azab terbelahnya bumi), maskhu (manusia berubah menjadi hewan) dan qadzfu (hujan batu).” Para Sahabat berkata, “Wahai utusan Allah, Mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah.” Lalu Rasulullah menjawab, “benar, jika telah nampak alat musik, arak dan pemakaian sutra.” (Ibnu Abi Syaibah:91)
  2. Rasulullah bersabada, “ tidak akan datang kiamat sebelum terjadi banyak gempa.” (Bukhori:978)
  3. Rasulullah bersabda, “Sungguh sebagian umatku akan meminum arak dan menyebutnya bukan dengan nama arak sambil diperdendangkan alat musik dan nyanyian. Allah akan membelah bumi, lalu bumi itu menelannya, dan Allah akan menjadikan mereka kera dan babi.” (Ibnu Majah:4010, Ibnu Abi Syaibah:21)
Di akhir tulisannya Syaikhuna mengajak kita semua agar berhati-hati dalam mensikapi peringatan Allah. Bencana yang menimpa kita adalah peringatan dari Allah agar kita kembali menaati perintah-perintahnya. Salahsatu perintah itu adalah, agar kita berendah diri di hadapan Allah dengan cara yang sesuai dengan kapasitas kita masing masing. Jika kita bersedia tunduk dan bersimpuh pada perintah Allah, maka Syaikhuna KH. Maimoen Zubair yakin seratus persen bahwa musibah dan bencana yang menimpa kita akan berujung pada kebaikan dan ketentraman hati. Tetapi jika tidak, maka segala sesuatu adalah milik Allah. Allah dapat melakukan apa saja yang Ia kehendaki. Allah tidak dimintai pertangung-jawaban atas apa yang Ia lakukan dan manusialah yang akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang mereka kerjakan.

Oleh: Moh. Najib Buchori, Lc 




Tidak ada komentar: