Goa Tsur

Kisah ini terjadi pada saat Abu Bakar Shiddiq RA menemani Rasulullah SAW berhijrah menuju Madinah dan harus menginap di Gua Tsur selama 3 malam. Karena mahabbah yang begitu tinggi kepada kekasih Allah SWT, Abu Bakar dengan sepenuh jiwa dan raga terus menemani Rasulullah dalam hijrah yang penuh rintang.


Wajah Abu Bakar Shiddiq pucat pasi. Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat. Betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya.
“Wahai Rasulullah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua.” ucap Abu Bakar pada Rasulullah. Lalu Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar, “Janganlah engkau kira kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan, Allah SWT.”

Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar di dalam gua Tsur. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat di sampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya.
Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama. Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, Abu Bakar tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy. Sungguh, Abu Bakar tidak khawatir dengan runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, mereka membunuh Muhammad.

Di dalam gua, mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dalam tidurnya, Muhammad melabuhkan kepalanya di pangkuan sang sahabat. Di dalam gua yang dingin dan remang-remang, tiba-tiba seekor ular mendesis mendekati kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa itu. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur Rasulullah. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasih Allah itu.
Abu Bakar menahan rasa sakit yang luar biasa ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya. Tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun, hingga ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuh Abu Bakar terasa panas, ketika bisa ular menjalar cepat di dalam darahnya. Abu Bakar tak kuasa menahan isak tangis ketika rasa sakit itu tak tertahankan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring.
Rasulullah saw terbangun dan berkata,
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini?”
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun,” jawab Abu Bakar.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?”
“Seekor ular, baru saja menggigitku, wahai Rasulullah. Dan bisanya menjalar begitu cepat ke dalam tubuhku.”
“Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Aku khawatir membangunkan engkau dari lelap” jawab Abu Bakar sendu.
Abu Bakar menyesal karena tidak dapat menahan air matanya hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga dari tidurnya.
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang sepertimu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah SWT sebaik-baik pemberi balasan.”

Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Rasulullah meraih pergelangan kaki Abu Bakar. Dengan mengagungkan nama Allah pencipta semesta, Nabi Muhammad mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha suci Allah, seketika rasa sakit itu hilang tak berbekas.

Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika Rasulullah menawarkan pangkuannya untuk beristirahat. Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.

Tidak ada komentar: