Hikmah Hijab Terhadap Makhluq Allah

من اطلع على أسرار العباد ولم يتخلق بالرحمة الإلهية كان اطلاعه فتنة عليه وسببا لجر الوبال إليه

“Barang siapa yang telah mampu melihat rahasia-rahasianya hamba Allah namun tidak berperilaku dengan Rohmah Ilahiyyah (kasih sayang yang bersifat ke-Tuhanan), maka hal tersebut bisa menjadi fitnah baginya dan akan menjadi sebab yang mampu menarik bencana yang akan menimpanya."
Hikmah ini merupakan hikmah yang mengalasi hikmah sebelumnya yang menerangkan bahwa kenapa Allah menghijab manusia dari rahasia-rahasia haliyah para hamba-Nya.


Dari hikmah ini tersirat jawaban bahwa diwajibkan bagi setiap insan untuk tetap beradab dalam bergaul dan berinteraksi dengan lainnya, sehingga husnudzdzon (baik sangka) kepada mereka selalu tertanam di dalam qolbu, serta mengarahkan sesuatu pekerjaan apapun yang terlihat atau muncul dari mereka kepada neraca kebaikan.

Setiap hamba jika mengetahui rahasia tabiat kemanusiaan seseorang dan keburukan-keburukan yang ditimbulkan oleh hawa nafsunya, maka biasanya otomatis akan menimbulkan buruk sangka (su'udzdzon) kepadanya, selama orang yang melihatnya tersebut tidak mampu menerapkan sifat Rohmah Ilahiyyah ( kasih sayang yang bersifat ke-Tuhanan). Padahal kalau saja ia ingat akan Rohmah Allah yang begitu luas kepada hamba-Nya, maka ia tidak akan segera berburuk sangka kepada yang lain.

Kebanyakan dari kita hanyalah melihat aib/keburukan dari orang lain dengan penglihatan mata kepala saja dengan tanpa disertai akhlak rohmah ilahiyyah. Maka hal ini akan sangat berpotensi pada munculnya fitnah bahkan kerusakan/bencana yang datang dari Allah. Dikarenakan yang menjadi tuntutan setiap hamba atas dasar hukum dan syari'at-Nya adalah berperilaku sopan santun dan beradab terhadap seluruh hamba-Nya dan mengaplikasikan husnudzdzon di dalam qolbunya.

Sebenarnya apabila seseorang mengetahui aib orang lain otomatis akan timbul su'udzdzon kepadanya dan yang lebih bahaya lagi bahwa ia merasa dirinya lebih baik dari yang lain (takabbur) yang mana justru sikap ini akan menyeretnya ke lembah kehancuran.

Untuk bisa selamat dari fitnah yang buruk ini, seorang hamba harus mampu mengaplikasikan dua hal;

1. Jika ia sedang mengetahui aibnya orang lain, ia harus bisa melupakan dan tidak mengi'tibar sesuatu yang menjadi tabiat manusia serta harus mampu menerapkan akhlak karimah yang berupa rohmah ilahiyyah.

Dan ini merupakan perkara yang amat sulit untuk diimplementasikan bagi orang awam bahkan oleh orang-orang shiddiq sekalipun. Diriwayatkan, ada salah satu auliyaillah rahimahullah yang terus memohon kepada Allah agar ia dibukakan hijabnya sehingga mampu melihat hakikat rahasia manusia yang masih samar bagi orang awam. Maka, pada suatu hari ketika ia sedang memasuki suatu pasar, di situ ia diperlihatkan oleh Allah bahwa kebanyakan wajah-wajah manusia yang berkerumun di dalamnya menyerupai berbagai bentuk hewan, ada yang berbentuk kera, kerbau, sapi dan yang lainnya. Kemudian, karena wali tersebut tidak kuat melihatnya ia kembali memohon kepada-Nya untuk tidak diperlihatkan lagi rahasia tersebut.

2. Seyogyanya, seorang hamba tetap dalam keadaan terhijab dari rahasia keburukan orang lain agar tidak menimbulkan fitnah yang kemungkinan besar mampu menggiring kepada kerusakan yang kembali kepadanya.
Perlu kita sadari, bahwa kita tidaklah terlahir dalam keadaan selalu suci/fitroh baik dhohir maupun bathin (selamat dari kesalahan/maksiat ) karena kita tidak ma'shum sebagaimana halnya Anbiya' yang terjaga dari maksiat. Kalau saja kita ini selalu bersih dhohir/bathin (tidak maksiat) maka kita tidak butuh mengadu kepada-Nya atas kelemahan kita, dan tidak butuh akan maghfiroh dari-Nya, karena maghfiroh (ampunan) itu wujud karena adanya juga aib dan dosa.
Lalu kalau seorang hamba tidak punya aib, bagaimana ia mau mengetuk pintunya Sang Ilahi? Dan jikalau saja ia ma'shum maka berarti seorang hamba sudah merdeka (lepas) dari makna "Ubudiyyah lillah" yang telah disyari'atkan oleh Allah, walaupun hakikatnya tidak akan bisa lepas dari-Nya memandang bahwa yang menjaganya dari aib adalah Allah sendiri.

Maka dari itu, hilangnya perasaan sadar akan lemahnya seorang hamba, hina dan banyaknya aib yang dilakukan serta perasaan selalu butuh (iftiqoor ilaih) akan ma'unah dan taufiq Allah akan sangat berpotensi menghilangkan perasaan 'ubudiyyah (menghambakan diri kepada-Nya) yang bisa mengantarkan diri ke depan pintu-Nya.

Termasuk dari sifat lembutnya Allah adalah ia selalu mengingatkan kepada hamba-Nya akan perasaaan 'ubudiyyah kepada-Nya dan ia memberikan cobaan-cobaan kepada hamba yang mampu menuntunnya kepada pintu maghfiroh dari keburukan-keburukan yang telah dilakukan.

sumber http://www.ppalanwar.com/

Tidak ada komentar: