Sayang dan Syukur

Alkisah, seorang guru sekola sedang mengajar di kelasnya. Guru tersebut memberi tugas kepada murid-muridnya. “Anak-anak, tugas belajar hari ini adalah menggambar bebas. Buatlah gambar atau apa saja yang kalian anggap berharga atau benda yang kalian miliki,“ perintahnya.
“Misalnya, rumah yang kamu tinggali bersama orang tua, benda yang kamu sayangi, pemandangan alam yang indah atau benda apapun yang kamu inginkan. Bagaimana anak-anak, sudah jelas bukan?” tanya bu guru.
“Sekarang, keluarkan alat-alat gambar dan segera mulai menggambar,” lanjut sang guru. Dan anak-anak itu pun dengan gembira mulai mengeluarkan alat-alat gambarnya sambil berceloteh, saling melontarkan pertanyaan dan jawaban tentang benda apa yang akan digambarnya.

Tidak lama kemudian, kelas pun berangsur tenang. Masing-masing anak segera sibuk dengan idenya yang akan dituangkan pada lembar kertas.

Saat waktu yang diberikan untuk tugas selesai, sang guru meminta setiap murid satu persatu maju ke depan kelas untuk memperlihatkan gambarnya dan menceritakan secara singkat alasan mengapa dia menggambar itu.

Ada berbagai macam gambar dan alasan yang dikemukakan oleh murid-murid. Ada yang menjelaskan tentang gambar mobil, mainan, buah-buahan, pemandangan dan lain sebagainya.

Tiba saat giliran terakhir, Amrun, seorang anak yang agak pemalu. Karena kakinya yang pincang ketika berjalan. Dia maju ke depan kelas. Meski kurang sempurna dalam berjalan, namun hasil gambarnya nampak bahwa Amrun sangat pandai dalam melukis.

Semua perhatian pun mendadak terarah kepada Amrun, teman-teman sekelasnya ingin mengetahui apa yang digambar oleh Amrun, seorang anak yang cacat dan berasal dari keluarga miskin itu.

Tak lama, Amrun memperlihatkan gambarnya. Rupanya dia menggambar sepasang tangan. Kelas pun akhirnya ramai karena mereka bertanya-tanya mengapa Amrun justru menggambar sepasang tangan?

Apa maksudnya? Tangan siapa yang digambarnya? Tangannya sendiri atau tangan orang lain? Kenapa malah tangan yang digambar?
Semua teman-teman Amrun di kelas berusaha menebak gambar tangan siapa yang dilukisnya itu.

Setelah memperhatikan gambar dengan seksama, ibu guru bertanya dengan lembut, ” Amrun, tangan siapa yang kamu gambar, Nak?”
Amrun menjawab dengan suara pelan tetapi jelas. “Yang satu adalah gambar tangan ibuku dan yang satunya lagi gambar tangan ibu guru,” kata Amrun.
“Kenapa kamu tidak menggambar tangan milikmu sendiri?” tanya bu guru lebih lanjut.
“Gambar tangan itu memang bukan tanganku sendiri, Bu guru. Tetapi saya menyanyangi dan mensyukuri tangan-tangan itu,” jelasnya.
“Karena dengan sepasang tangan milik ibu sayalah yang menuntun, mengajari dan melayani aku secara tulus sehingga saya bisa tumbuh seperti saat ini. Satu lagi saya menggambar tangan Bu guru karena lewat sepasang tangan ibu gurulah yang mengajariku menulis dan melukis.” kata Amrun.
“Walaupun kaki saya pincang, tetapi tangan saya bisa menulis dan membuat lukisan yang indah. Terima kasih, Ibu guruku.” ucap Amrun dengan tulus.

Tidak ada komentar: