Jiwa Sedekah

Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong. Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.

Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil. Saya bingung dan tidak mampu bergerak sama sekali. Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang tersenyum ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima kehadirannya di tempat itu. Ia menyapa sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah penolongnya.

Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka, dan kami bertiga tiba-tiba saja sudah sampai di depan counter. Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan, "Kopi saja, satu cangkir, Nona." Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka. Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan. Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu-tamu lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua tindakan saya. Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah. Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap: "Makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua." Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata, "Terima kasih banyak, Nyonya." Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata: "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ketelinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian." Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu. Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk, suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata: "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan keteduhan bagi diriku dan anak-anakku." Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar-benar bersyukur dan menyadari, bahwa hanya karena “bisikan-Nya” lah kami telah mampu memanfaatkan kesempatan untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.

Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami untuk sekedar ingin berjabat tangan dengan kami. Salah satu di antaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap: "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada di sini. Jika suatu saat saya diberi kesempatan oleh-Nya, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami." Saya hanya bisa berucap: "Terima kasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat ke arah kedua lelaki itu, dan seolah ada magnit yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh ke arah kami sambil tersenyum, lalu melambai-lambaikkan tangannya ke arah kami.

Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar-benar tindakan yang tidak pernah terpikir oleh saya. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa kasih sayang Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!

"Tersenyumlah dengan hatimu, dan kau akan mengetahui betapa dahsyat dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."

Tidak ada komentar: