Ini baru supir
taksi. Rapi, sopan, terbuka, jujur dan satu hal: tegas perihal kewajiban
“menjawab” bagi seorang yang mendengar suara adzan. Tak ada kompromi dalam hal
yang menurut dia sangat gawat ini. Pokoknya, begitu mendengar suara adzan dia
harus turun dan shalat! Tak perduli apakah di dalam taksinya ada penumpang atau
tidak. Tak ada urusan kalau penumpangnya, misalnya, mendadak minta pindah
taksi. Ini memang baru sopir taksi. Di mana sih ada sopir yang berani
tegas-tegasan dan selalu istikamah meyakini “kekerasan disiplinnya”?
Beruntunglah dia bukan supir bus kota, misalnya, atau supir kereta api.
Dan anehnya, kejadian ini terjadi di Surabaya. Sebuah kota besar di mana orang-orang sibuk untuk bergerak cepat. Orang naik taksi karena butuh previllege, memburu waktu dan tak mau terganggu. Nah, jika Anda bertemu orang ini jangan kaget jika sebelum membuka pintu dia akan langsung mengajak Anda berdebat.
“Kalau sampeyan
mau pakai taksi saya harus tahu resikonya.”
“Lho, Sampeyan
ini bagaimana. Saya mau pakai taksi Sampeyan, kok malah ditakut-takuti.
Sampeyan mau ngajak saya tabrakan, apa?”
“Ya bukan begitu.
Maksud saya, Sampeyan harus tahu dulu watak dan kebiasaan saya. Sampeyan mau
kemana?”
“Tanjung Perak…”
“Lhaa, itu kan
jauh dari sini. Iya toh? Padahal sekarang sudah jam setengah dua belas.
Sebentar lagi adzan dzuhur. Nah, kalau terpaksa Sampeyan sudah ikut taksi saya,
dan kebetulan di tengah perjalanan ternyata di radio saya terdengar adzan,
terpaksa Sampeyan harus ikut muter-muter.”
“Wee lah, gak
mudeng aku. Saya ndak faham maksud Sampeyan.”
“Karena saya
harus turun dan shalat. Jadi Sampeyan harus ikut saya muter-muter cari masjid.
Apakah Sampeyan mau menunggu saya selesai shalat? Kalau mau, ya silahkan pakai
taksi saya. Tapi kalau enggak, nggih nyuwun sewu, saya minta maaf. Saya
persilahkan Sampeyan untuk cari taksi lain saja.”
“Wee lah
trembelane tenan. Sampeyan itu bodoh. Shalat kan bisa ditunda, kalau hanya satu
jam saja. Itu kan ndak apa-apa. Kalau begitu caranya, saya ndak mau. Saya masih
punya banyak urusan. Dasar bodoh, ngabisin waktu saja…”
“Yaa ndak
apa-apa. Silahkan Sampeyan cari taksi lain.”
Bodoh? Barangkali
betul kalau ditilik dan perhitungan akal-akalan ekonomi. Berapa ribu rezeki dia
lepas? Bukankah jarak antara terminal Bungur Asih dan Tanjung Perak lumayan
“wah”? Sekali tarik dia bisa mengantongi minimal dua puluh ribu rupiah. Tapi,
apakah betul kadar keimanan bisa begitu saja diukur oleh akal-akalan ekonomi,
yang kadangkala juga bisa sama tidak rasionalnya? Semisal Anda seorang supir
taksi yang hari ini secara akal- akalan buta, barangkali juga sekalian curang
mengakali argometer, serabutan tak kenal istirahat untuk “jihad” mengumpulkan
uang bisa mendapatkan laba bersih 100 ribu rupiah. Tapi kemudian, di hari lain
Anda dengan sangat terpaksa harus mengeluarkan uang 200 nibu perak lantaran
moncong taksi Anda menyenggol bumper belakang sebuah BMW. Atau, sepulang
“ngotot kerja” Anda tiba-tiba mendapatkan putra tercinta Anda tergolek demam,
yang kata dokter adalah demam berdarah? Dari manakah sesungguhnya “rencana”
musibah itu sampai? Tapi tokoh Anda kali ini, supir taksi Anda yang satu ini,
betul-betul tak pernah tegang. Wajahnya jernih. Termasuk ketika ia merelakan
beberapa puluh ribu rezekinya lepas. “Rezeki itu datangnya dan Gusti Allah…”
Nah, suatu ketika
ia mendapatkan seorang penumpang yang sama terburu-burunya.
“Antarkan saya ke
Jalan Pemuda!”
“Sampeyan
tampaknya terburu-buru…”
“Betul. Ada
urusan yang harus segera diselesaikan.”
“Kalau begitu,
nyawun sewu, minta maaf saya ndak bisa ngantar. Sudah pukul tiga, sebentar lagi
ashar.” Debat seperti biasanya berlangsung. Hanya anehnya, kali ini penumpangnya
malah terhenyak.
“Jadi Sampeyan
tidak berani menunda jadwal shalat? Walaupun hanya tiga puluh menit?”
“Betul. Saya ndak
berani.”
“Masya Allah.
Kalau begitu, saya juga akan ikut shalat.” Betul saja, di tengah perjalanan,
“jihad” sang supir dicegat adzan. Tanpa ba-bi-bu, ia membelokkan arah ke masjid
terdekat, kali ini penumpangnya ikut shalat. Dan masih dengan mimik
terkagum-kagum, usai shalat Sang Penumpang iseng-iseng bertanya,
“Barangkali
Sampeyan memang sudah haji, iya kan Pak?”
“Waaah Sampeyan
itu. Nyindir ya? Kerja saya ini, Pak, hanya cukup buat makan anak istri .…
kepingin sih ya kepingin. Siapa sih yang tidak kepingin haji? Tapi Gusti Allah
belum ngersakke, belum menghendaki. Yaa saya sih ndak apa-apa.”
“Lho, Sampeyan,
misalkan saya ajak gimana. Mau enggak?”
“Wah! Sampeyan
mau ngajak saya naik haji?”
“Kalau memang
Sampeyan mau .… kenapa tidak?”
Siapa
sesungguhnya yang mengirimkan anugrah kepada Sang Supir taksi? Jika bukan
karena Kemahakayaan dan Kemahamurahan Allah. Siapa yang sesungguhnya
mengirimkan “kehendak” kepada Sang Penumpang taksi untuk tiba-tiba cinta, dan
mengajak serta untuk menunaikan haji? Jika bukan karena kekuasaan Allah Semata.
Nah, kalau Anda masih juga mau “ngotot” untuk mempertahankan akal-akalan ekonomi,
Anda pasti butuh sebuah kalkulator untuk menghitung: berapa puluh tahun waktu
dibutuhkan seorang supir taksi semacam dia, untuk mengumpulkan dana
sekurang-kurangnya dua puluh tiga juta. Berapa sisa pendapatan dia per hari?
Maha besar Allah. Dia tidak butuh perhitungan matematis macam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar