Cara Taqarrub Kepada Allah

Cara mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui dua hal. Yang pertama bersifat positif (ijabiy). Yaitu dengan ilmu dan memperbanyak melakukan amalan-amalan sunnah. Dalam suatu maqolah disebutkan bahwa Allah tidak memilih kekasih-Nya dari orang yang bodoh. Andai Dia berkehendak menjadikan orang tersebut sebagai kekasih-Nya pastilah Dia mengajarinya.

Secara logika saja, seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan, terutama mengenai keagungan dan kebesaran Allah mana mungkin ia mencintai-Nya. Alih-alih mencintai-Nya, mengenal-Nya saja terkadang tidak.

Sudah banyak disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits tentang betapa pentingnya ilmu. Semisal dalam surah Fathir ayat 28:
“Yang sungguh merasa takut kepada Allah –di antara para hambaNya-- hanyalah para ulama.”
Di dalam kitab At Tibyan Fi Adabi Hamalatil Quran karya Imam Nawawi disebutkan bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berkata: “Andai ulama bukan merupakan kekasih (wali) Allah maka Dia tidak mempunyai kekasih.”

Menurut hemat kami, ilmu yang dimaksud tidak sebatas ilmu yang disebut sebagai ilmu agama, tetapi merupakan ilmu yang dapat mengenalkan kita kepada-Nya, membuka mata hati kita untuk melihat keagungan dan kebesaran-Nya.

Poin selanjutnya adalah dengan memperbanyak melakukan amalan sunnah (nawafil). Sedang amalan-amalan sunnah sendiri itu sangat bervariasi. Bisa sholat, membaca Al-Quran, puasa dan lain sebagainya. Tapi tentunya semua itu setelah kita melaksanakan amalan-amalan yang bersifat wajib (fardlu).

Tujuan dari poin ini adalah kita terus melakukan kontak, menyambung hubungan dengan-Nya. Dia sebagai pencipta kita, sebagai Sang Maha Kuasa dan sebagai Dzat yang mana kita tidak bisa hidup tanpa-Nya.

Wajar saja kalau Dia memilih hamba-Nya yang sering “sowan” menghadap-Nya, sering membaca kalam-Nya, rela melawan dan mengalahkan hawa nafsunya sebagai sebuah apresiasi dan penghargaan dari-Nya terhadap hamba tersebut atas berbagai pengorbanan yang telah ia lakukan demi Tuhannya.

Dalam sebuah hadits Qudsy yang tercantum dalam kitab Arba’in Nawawiyah disebutkan bahwa: “HambaKu tidak mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang Aku senangi melebihi apa-apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan hambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan melakukan amalan-amalan sunnah (nawafil) sehingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya dan kakinya....”
Maksud dari “Aku menjadi pendengarannya.......” adalah gerak-gerik hamba tersebut selalu disertai taufiq dari Allah sebagaimana yang ditegaskan oleh syekh Al-Khoththobi. (lihat syarh Taftazani Alal Arba’in Nawawiyyah).

Cara kedua yang bersifat negatif (salbiy). Adalah dengan menjauhi hal-hal yang haram. Terutama sekali makanan dan minuman yang haram. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah RA diceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh dengan rambut berantakan dan wajah yang penuh debu. Lantas ia menengadahkan tangannya ke langit seraya memanggil: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku!” Memohon kepada Allah dengan penuh pengharapan dan dengan kondisi yang memperihatinkan. Namun oleh Nabi Muhammad SAW disabdakan bahwa permohonannya tidak akan terpenuhi. Fa anna yustajabu lahu?

Mengapa bisa demikian?

Hal tersebut dikarenakan makanan, minuman dan pakaiannya berasal dari barang haram. (lihat dalam kitab Arba’in Nawawiyyah).

Sayyidina Abi Bakar RA berkata: “Sungguh aku pernah mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa Allah mengharamkan surga bagi setiap tubuh yang disuapi barang yang haram.”

Kedua cara di atas saling terjalin kelindan satu sama lain dan sangat erat kaitannya.
Di samping hal di atas dengan membersihkan tubuh, perut dan semua indera kita dari hal-hal yang haram, kita akan semakin mudah mendapatkan pancaran cahaya Rabbani sehingga hati kita bersih dan dapat sampai kepada Allah.

Wallahu a’lam bisshawab.

keterangan foto: KH. Wafi Maimoen di atas Jabal Rahmah

Tidak ada komentar: